ASUHAN KEPERAWATAN
DENGAN CA. NASOFARING
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Di
Indonesia kanker nasofaring (bagian atas faring atau tenggorokan) merupakan
kanker terganas nomor 4 setelah kanker rahim, payudara dan kulit. Sayangnya,
banyak orang yang tidak menyadari gejala kanker ini, karena gejalanya hanya
seperti gejala flu biasa. Kanker nasofaring banyak dijumpai pada orang-orang
ras mongoloid, yaitu penduduk Cina bagian selatan, Hong Kong, Thailand,
Malaysia dan Indonesia juga di daerah India. Ras kulit putih jarang ditemui terkena
kanker jenis ini. Selain itu kanker nasofaring juga merupakan jenis kanker yang
diturunkan secara genetik.
Kanker nasofaring
atau dikenal juga dengan kanker THT adalah penyakit yang disebabkan oleh sel
ganas (kanker) dan terbentuk dalam jaringan nasofaring, yaitu bagian atas
faring atau tenggorokan. Kanker ini paling sering terjadi di bagian THT, kepala
serta leher. Sampai saat ini belum jelas bagaimana mulai tumbuhnya kanker
nasofaring. Namun penyebaran kanker ini dapat berkembang ke bagian mata, telinga,
kelenjar leher, dan otak. Sebaiknya yang beresiko tinggi terkena kanker
nasofaring rajin memeriksakan diri ke dokter, terutama dokter THT. Risiko
tinggi ini biasanya dimiliki oleh laki-laki atau adanya keluarga yang menderita
kanker ini.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1
Bagaimanakah asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan Ca Nasofaring ?
1.3 Tujuan
1.3.1
Tujuan Umum
Memahami asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan Ca Nasofaring
1.3.2 Tujuan Khusus
1.
Memahami definisi Ca Nasofaring.
2.
Mengetahui penyebab dari Ca Nasofaring.
3.
Mengetahui manifestasi klinis dari
Ca Nasofaring
4.
Mengetahui proses terjadinya Ca Nasofaring.
5.
Mengetahui pemeriksaan diagnostik
pada Ca Nasofaring.
6.
Mengetahui penatalaksaan Ca
nasofaring
7.
Mengetahui asuhan keperawatan pada
klien dengan Ca Nasofaring
1.4
Manfaat
1.4.1 Mahasiswa mampu memahami konsep dan asuhan keperawatan pada klien
dengan
gangguan
Ca Nasofaring
sehingga menunjang pembelajaran mata kuliah persepsi sensori.
1.4.2 Mahasiswa mampu mengetahui asuhan
keperawatan yang benar sehingga dapat
menjadi bekal dalam persiapan praktik di rumah sakit.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Definisi
Kanker nasofaring adalah kanker yang
berasal dari sel epitel nasofaring di rongga belakang hidung dan belakang
langit-langit rongga mulut. Kanker ini merupakan tumor ganas daerah kepala dan
leher yang terbanyak di temukan di Indonesia. Hampir 60% tumor ganas dan leher
merupakan kanker nasofaring, kemudian diikuti tumor ganas hidung dan sinus
paranasal (18%), laring (16%), dan tumor ganas rongga mulut, tonsil, hipofaring
dalam prosentase rendah.
Pada banyak kasus,
nasofaring carsinoma banyak terdapat pada ras mongoloid yaitu penduduk Cina
bagian selatan, Hong Kong, Thailand, Malaysia dan Indonesia juga di daerah
India. Ras kulit putih jarang ditemui terkena kanker jenis ini. Selain itu
kanker nasofaring juga merupakan jenis kanker yang diturunkan secara genetik.
2.2
Etiologi
Terjadinya
Ca Nasofaring mungkin multifaktorial, proses karsinogenesisnya mungkin mencakup
banyak tahap. Faktor yang mungkin terkait dengan timbulnya kanker
nasofaring adalah:
1.
Kerentanan Genetik
Walaupun
Ca Nasofaring tidak termasuk tumor genetik, tetapi kerentanan terhadap Ca
Nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu relatif menonjol dan memiliki
fenomena agrregasi familial. Analisis korelasi menunjukkan gan HLA ( Human
luekocyte antigen ) dan gen pengode enzim sitokrom p4502E ( CYP2E1) kemungkinan
adalah gen kerentanan terhadap Ca Nasofaring, mereka berkaitan dengan timbulnya
sebagian besar Ca Nasofaring . Penelitian menunjukkan bahwa kromosom
pasien Ca Nasofaring menunjukkan ketidakstabilan , sehingga lebih rentan
terhadap serangan berbagai faktor berbahaya dari lingkungan dan timbul penyakit.
2.
Virus EB
Metode
imunologi membuktikan virus EB membawa antigen yang spesifik seperti
antigen kapsid virus ( VCA ), antigen membran ( MA ), antigen dini ( EA ),
antigen nuklir ( EBNA ) , dll. Virus EB memiliki kaitan erat dengan Ca
Nasofaring , alasannya adalah :
a.
Di dalam serum pasien Ca
Nasofaring ditemukan antibodi terkait virus EB ( termasuk VCA-IgA, EA-IgA,
EBNA, dll ) , dengan frekuensi positif maupun rata-rata titer geometriknya
jelas lebih tinggi dibandingkan orang normal dan penderita jenis kanker lain,
dan titernya berkaitan positif dengan beban tumor . Selain itu titer antibodi
dapat menurun secara bertahap sesuai pulihnya kondisi pasien dan kembali
meningkat bila penyakitnya rekuren atau memburuk.
b.
Di dalam sel Ca Nasofaring dapat
dideteksi zat petanda virus EB seperti DNA virus dan EBNA.
c.
Epitel nasofaring di luar tubuh
bila diinfeksi dengan galur sel mengandung virus EB, ditemukan epitel yang
terinfeksi tersebut tumbuh lebih cepat , gambaran pembelahan inti juga banyak.
d.
Dilaporkan virus EB di bawah
pengaruh zat karsinogen tertentu dapat menimbulkan karsinoma tak
berdiferensiasi pada jaringan mukosa nasofaring fetus manusia.
3.
Faktor Lingkungan
Faktor
lingkungan juga berperan penting. Penelitian akhir-akhir ini menemukan zat
berikut berkaitan dengan timbulnya Ca Nasofaring :
- Hidrokarbon
aromatik, pada keluarga di area insiden tinggi kanker nasofaring ,
kandungan 3,4- benzpiren dalam tiap gram debu asap mencapai 16,83 ug,
jelas lebih tinggi dari keluarga di area insiden rendah.
- Unsur
renik : nikel sulfat dapat memacu efek karsinognesis pada proses timbulnya
kanker nasofaring .
- Golongan
nitrosamin : banyak terdapat pada pengawet ikan asin. Terkait dengan
kebiasaan makan ikan asin waktu kecil, di dalam air seninya terdeteksi
nitrosamin volatil yang berefek mutagenik.
2.3 Klasifikasi
Menurut
WHO
1978 :
1)
Tipe 1 : Karsinoma sel
skuamosa dengan berkeratinisasi
2)
Tipe 2 : Karsinoma sel
skuamosa tanpa keratinisasi
3)
Tipe 3 : Karsinoma
tanpa diferensiasi
Working
formulation :
1)
Karsinoma Tipe A :
anaplasia / Pleomorfy nyata-derajat keganasan menegah.
2)
Karsinoma Tipe B :
anaplasia / pleomorfy ringan-derajat keganasan ringan.
Jenis
tanpa keratinisasi dan tanpa diferisiensi mempunyai sifat radiosensitif dan
mempunyai titer antibodi terhadap virus Epstein-Barr, sedangkan jenis karsinoma
sel skuamosa dengan berkeratinisasi tidak begitu radiosensitif dan tidak
menunjukkan hubungan dengan virus Epstein-Barr.
Klasifikasi
Working Formulation digunakan untuk membandingkan respon radiasi pada karsinoma
nasofaring dengan metastasis ke kelenjar leher, respons radiasi paling baik
pada karsinoma nasofaring tipe B, kurang begitu baik pada tipe A dan paling
kurang baik pada karsinoma sel skuamosa berkeratin.
2.4 Manifestasi Klinis
Gejala dan tanda
yang sering ditemukan pada kanker nasofaring adalah :
1.
Epiktasis : sekitar 70%
pasien mengalami gejala ini, diantaranya 23,2 % pasien datang berobat dengan
gejala awal ini . Sewaktu menghisap dengan kuat sekret dari rongga hidung
atau nasofaring , bagian dorsal palatum mole bergesekan dengan permukaan tumor
, sehingga pembuluh darah di permukaan tumor robek dan menimbulkan epiktasis.
Yang ringan timbul epiktasis, yang berat dapat timbul hemoragi nasal masif.
2.
Hidung tersumbat :
sering hanya sebelah dan secara progesif bertambah hebat. Ini disebabkan tumor
menyumbat lubang hidung posterior.
3.
Tinitus dan pendengaran
menurun: penyebabnya adalah tumor di resesus faringeus dan di dinding
lateral nasofaring menginfiltrasi , menekan tuba eustaki, menyebabkan tekana
negatif di dalam kavum timpani , hingga terjadi otitis media transudatif . bagi
pasien dengan gejala ringan, tindakan dilatasi tuba eustaki dapat meredakan
sementara. Menurunnya kemmpuan pendengaran karena hambatan konduksi, umumnya
disertai rasa penuh di dalam telinga.
4.
Sefalgia : kekhasannya
adalah nyeri yang kontinyu di regio temporo parietal atau oksipital
satu sisi. Ini sering disebabkan desakan tumor, infiltrasi saraf kranial atau
os basis kranial, juga mungkin karena infeksi lokal atau iriasi pembuluh darah
yang menyebabkan sefalgia reflektif.
5.
Rudapaksa saraf kranial
: kanker nasofaring meninfiltrasi dan ekspansi direk ke superior, dapat
mendestruksi silang basis kranial, atau melalui saluran atau celah alami
kranial masuk ke area petrosfenoid dari fosa media intrakanial (temasuk foramen
sfenotik, apeks petrosis os temporal, foramen ovale, dan area sinus spongiosus
) membuat saraf kranial III, IV, V dn VI rudapaksa, manifestasinya berupa
ptosis wajah bagian atas, paralisis otot mata ( temasuk paralisis saraf
abduksi tersendiri ), neuralgia trigeminal atau nyeri area temporal akibat
iritasi meningen ( sindrom fisura sfenoidal ), bila terdapat juga rudapaksa
saraf kranial II, disebut sindrom apeks orbital atau petrosfenoid.
6.
Pembesaran kelenjar
limfe leher : lokasi tipikal metastasisnya adalah kelenjar limfe kelompok
profunda superior koli, tapi karena kelompok kelenjar limfe tersebut
permukaannya tertutup otot sternokleidomastoid, dan benjolan tidak nyeri , maka
pada mulanya sulit diketahui. Ada sebagian pasien yang metastasis kelenjar
limfenya perama kali muncul di regio untaian nervi aksesorius di segitiga koli
posterior.
7.
Gejala metastasis jauh
: lokasi meatstasis paling sering ke tulang, paru, hati . metastasi tulang
tersering ke pelvis, vertebra, iga dan keempat ekstremitas. Manifestasi
metastasis tulang adalah nyeri kontinyu dan nyeri tekan setempat, lokasi tetap
dan tidak berubah-ubah dan secara bertahap bertambah hebat. Pada fase ini tidak
selalu terdapat perubahan pada foto sinar X, bone-scan seluruh tubuh dapat
membantu diagnosis. Metastasis hati , paru dapat sangat tersembunyi , kadang
ditemukan ketika dilakukan tindak lanjut rutin dengan rongsen thorax ,
pemeriksaan hati dengan CT atau USG
2.5 Patofisiologi
Sudah
hampir dipastikan ca.nasofaring disebabkan oleh virus eipstein barr. Hal ini
dapat dibuktikan dengan dijumpai adanya protein-protein laten pada penderita
ca. nasofaring. Sel yang terinfeksi oleh EBV akan menghasilkan protin tertentu
yang berfungsi untuk proses proliferasi dan mempertahankan kelangsungan virus
didalam sel host. Protein tersebut dapat digunakan sebagai tanda adanya EBV,
seperti EBNA-1 dan LMP-1, LMP-2A dan LMP-2B. EBNA-1 adalah protein nuclear yang
berperan dalam mempertahankan genom virus. EBV tersebut mampu aktif dikarenakan
konsumsi ikan asin yang berlebih serta pemaparan zat-zat karsinogen yang
menyebabkan stimulasi pembelahan sel abnormal yang tidak terkontrol, sehingga
terjadi differensiasi dan proliferasi protein laten(EBNA-1). Hal inilah yang
memicu pertumbuhan sel kanker pada nasofaring, dalam hal ini terutama pada
fossa Rossenmuller.
Penggolongan Ca
Nasofaring :
1.
T1 : Kanker terbatas di
rongga nasofaring.
2. T2 : Kanker
menginfiltrasi kavum nasal, orofaring atau di celah parafaring di
anterior dari garis SO ( garis
penghubung prosesus stiloideus dan margo posterior garis
tengah foramen magnum os oksipital ).
3. T3 : Kanker di celah parafaring di posterior
garis SO atau mengenai basis kranial,
fosa
pterigopalatinum atau terdapat rudapaksa tunggal syaraf kranial
kelompok
anterior atau posterior.
4. T4 : Saraf kranial kelompok
anterior dan posterior terkena serentak, atau kanker
mengenai sinus
paranasal, sinus spongiosus, orbita, fosa infra-temporal.
1. N0
: Belum teraba pembesaran kelenjar limfe .
2.
N1
: Kelenjar limfe koli superior berdiameter <4 cm,.
3.
N2
: Kelenjar koli inferior membesar atau berdiameter 4-7 cm .
4.
N3
: Kelenjar limfe supraklavikular membesar atau berdiameter >7 cm
5.
M0
: Tak ada metastasis jauh.
6.
M1
: Ada metastasis jauh.
Penggolongan
stadium klinis, antara lain :
1.
Stadium I :
T1N0M0
2.
Stadium
II :
T2N0 – 1M0, T0 – 2N1M0
3.
Stadium III :
T3N0 - 2M0, T0 – 3N2M0
4.
Stadium
IVa : T4N0 – 3M0, T0 –
4N3M0
5.
Stadium
IVb : T apapun, N Apapun, M1
Pathway
Add caption |
2.6 Pemeriksaan Diagnosis
Untuk mencapai
diagnosis dini harus melaksanakan hal berikut :
1. Tindakan kewaspadaan, perhatikan keluhan utama pasien.
Pasien
dengan epiktasis aspirasi balik, hidung tersumbat menetap, tuli unilateral,
limfadenopati leher tak nyeri, sefalgia, rudapaksa saraf kranial dengan kausa
yang tak jelas, dan keluhan lain harus diperiksa teliti rongga nasofaringya
dengan nasofaringoskop indirek atau elektrik.
2. Pemeriksaan kelenjar limfe leher.
Perhatikan
pemeriksaan kelenjar limfe rantai vena jugularis interna, rantai nervus
aksesorius dan arteri vena transvesalis koli apakah terdapat pembesaran.
3. Pemeriksaan saraf kranial
Terhadap
saraf kranial tidak hanya memerlukan pemeriksaan cermat sesuai prosedur rutin
satu persatu , tapi pada kecurigaan paralisis otot mata, kelompok otot
kunyah dan lidah kadang perlu diperiksa berulang kali, barulah ditemukan
hasil yang positif
4. Pemeriksaan serologi virus EB
Dewasa
ini, parameter rutin yang diperiksa untuk penapisan kanker nasofaring adalah
VCA-IgA, EA-IgA, EBV-DNAseAb. Hasil positif pada kanker nasofaring berkaitan
dengan kadar dan perubahan antibodi tersebut. Bagi yang termasuk salah
satu kondisi berikut ini dapat dianggap memilki resiko tinggi kanker nasofaring
:
- Titer
antibodi VCA-IgA >= 1:80
- Dari
pemeriksaan VCA-IgA, EA-IgA dan EBV-DNAseAb, dua diantara tiga indikator
tersebut positif.
- Dua
dari tiha dari indikator pemeriksaan diatas, salah satu menunjukkan titer
yang tinggi kontinyu atau terus meningkat.
Bagi pasien yang
memenuhi patokan tersebut , harus diperiksa teliti dengan nasofaringoskop
elektrik , bila perlu dilakukan biopsi. Yang perlu ditekankan adalah perubahan
serologi virus Eb dapat menunjukkan reaksi positif 4 – 46 bulan sebelum
diagnosis kanker nasofaring ditegakkan.
1.
Diagnosis pencitraan.
- Pemeriksaan
CT : makna klinis aplikasinya adalah membantu diagnosis, memastikan luas
lesi, penetapan stadium secara adekuat, secara tepat menetapkan zona
target terapi, merancang medan radiasi, memonitor kondisi remisi tumor
pasca terapi dan pemeriksaa tingkat lanjut.
- Pemeriksaan
MRI : MRI memiliki resolusi yang baik terhadap jaringan lunak, dapat
serentak membuat potongan melintang, sagital, koronal, sehingga lebih baik
dari pada CT. MRI selai dengan jelas memperlihatkan lapisan struktur
nasofaring dan luas lesi, juga dapat secara lebih dini menunjukkan
infiltrasi ke tulang. Dalam membedakan antara fibrosis pasca radioterapi
dan rekurensi tumor , MRI juga lebih bermanfaat .
- Pencitraan
tulang seluruh tubuh : berguna untuk diagnosis kanker nasofaring dengan
metastasis ke tulang, lebih sensitif dibandingkan rongtsen biasa atau CT,
umumnya lebih dini 4-6 bulan dibandingkan rongsen. Setelah dilakukan
bone-scan, lesi umumnya tampak sebagai akumulasi radioaktivitas, sebagian
kecil tampak sebagai area defek radioaktivitas. Bone-scan sangat sensitif
untuk metastasis tulang, namun tidak spesifik . maka dalam menilai lesi
tunggal akumulasi radioaktivitas , harus memperhatikan riwayat penyakit, menyingkirkan
rudapaksa operasi, fruktur, deformitas degeneratif tulang, pengaruh radio
terapi, kemoterapi, dll.
- PET
( Positron Emission Tomography ) : disebut juga pencitraan biokimia
molukelar metabolik in vivo. Menggunakan pencitraan biologismetabolisme glukosa
dari zat kontras 18-FDG dan pencitraan anatomis dari CT yang dipadukan
hingga mendapat gambar PET-CT . itu memberikan informasi gambaran biologis
bagi dokter klinisi, membantu penentuan area target biologis kanker
nasofaring , meningkatka akurasi radioterapi, sehingga efektifitas
meningkat dan rudapaksa radiasi terhadap jaringan normal berkurang.
2. Diagnosis
histologi
Pada
pasien kanker nasofaringn sedapat mungkin diperoleh jaringan dari lesi primer
nasofaring untuk pemeriksaan patologik. Sebelum terapi dimulai harus diperoleh
diagnosis histologi yang jelas. Hanya jika lesi primer tidak dapat memeberikan
diagnosis patologik pasti barulah dipertimbangkan biopsi kelenjar limfe leher.
2.7 Penatalaksanaan
a.
Radioterapi
Hal yang perlu dipersiapkan adalah keadaan umum pasien
baik, hygiene mulut, bila ada infeksi mulut diperbaiki dulu. Pengobatan
tambahan yang diberikan dapat berupa diseksi leher ( benjolan di leher yang
tidak menghilang pada penyinaran atau timbul kembali setelah penyinaran dan tumor
induknya sudah hilang yang terlebih dulu diperiksa dengan radiologik dan
serologik), pemberian tetrasiklin, faktor transfer, interferon, kemoterapi,
seroterapi, vaksin dan antivirus.
b.
Kemoterapi
Kemoterapi meliputi kemoterapi neodjuvan, kemoterapi
adjuvan dan kemoradioterapi konkomitan. Formula kemoterapi yang sering
dipakai adalah : PF ( DDP + 5FU ), kaboplatin +5FU, paklitaksel +DDP,
paklitasel +DDP +5FU dan DDP gemsitabin , dll.
·
DDP
: 80-100 mg/m2 IV drip hari pertama ( mulai sehari sebelum kemoterapi,
lakukan hidrasi 3 hari )
·
5FU
: 800-1000 mg/m2/d IV drip , hari ke 1-5 lakukan infus kontinyu
intravena.
Ulangi
setiap 21 hari atau :
·
Karboplatin : 300mg/m2
atau AUC = 6 IV drip, hari pertama.
·
5FU
: 800-1000/m2/d IV drip , hari ke 1-5 infus intravena kontinyu.
Ulangi
setiap 21 hari.
c.
Terapi Biologis
Dewasa ini masih dalam
taraf penelitian laboraturium dan uji klinis.
d.
Terapi Herbal TCM
Dikombinasi dengan radioterapi dan kemoterapi, mengurangi
reaksi radiokemoterapi, fuzhengguben (menunjang, memantapkan ketahanan tubuh),
kasus stadium lanjut tertentu yang tidak dapat di radioterapi atau
kemoterapi masih dapat dipertimbangkan hanya diterapi sindromnya dengan TCM.
Efek herba TCM dalam membasmi langsung sel kanker dewasa ini masih dalam
penelitian lebih lanjut.
1.
Terapi
Rehabiltatif
Pasien kanker secara faal dan psikis menderita gangguan
fungsi dengan derajat bervariasi. Oleh karena itu diupayakan secara maksimal
meningkatkan dan memperbaiki kualitas hidupnya.
2. Rehabilitas Psikis
Pasien kanker nasofaring harus diberi pengertian bahwa
pwnyakitnya berpeluang untuk disembuhkan, uapayakan agar pasien secepatnya
pulih dari situasi emosi depresi.
3. Rehabilitas
Fisik
Setelah menjalani radioterapi, kemoterpi dan terapi lain,
pasien biasanya merasakan kekuatan fisiknya menurun, mudah letih, daya ingat
menurun. Harus memperhatikan suplementasi nutrisi , berolahraga fisik ringan
terutama yang statis, agar tubuh dan ketahanan meningkat secara bertahap.
4. Pembedahan
Dalam kondisi ini dapat dipertimbangkan tindakan operasi :
- Rasidif
lokal nasofaring pasca radioterapi , lesi relatif terlokalisasi.
- 3
bulan pasca radioterapi kuratif terdapat rasidif lesi primer
nasofaring :
Ø Pasca
radioterapi kuratif terdapat residif atau rekurensi kelenjar limfe leher.
Ø Kanker
nasofaring dengan diferensiasi agak tinggi seperti karsinoma skuamosa grade I,
II, adenokarsinoma.
Ø Komplikasi
radiasi.
2.8 Komplikasi
Sel-sel kanker dapat ikut
mengalir bersama getah bening atau darah, mengenai
organ tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring. Yang sering adalah tulang, hati dan paru. Hal ini merupakan hasil akhir dan prognosis yang buruk. Dalam penelitian lain ditemukan bahwa karsinoma nasofaring dapat mengadakan metastase jauh, ke paru-paru dan tulang, masing-masing 20 %, sedangkan ke hati 10 %, otak 4 %, ginjal 0.4 %, dan tiroid 0.4 %. Komplikasi lain yang biasa dialami adalah terjadinya pembesaran kelenjar getah bening pada leher dan kelumpuhan saraf kranial.
organ tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring. Yang sering adalah tulang, hati dan paru. Hal ini merupakan hasil akhir dan prognosis yang buruk. Dalam penelitian lain ditemukan bahwa karsinoma nasofaring dapat mengadakan metastase jauh, ke paru-paru dan tulang, masing-masing 20 %, sedangkan ke hati 10 %, otak 4 %, ginjal 0.4 %, dan tiroid 0.4 %. Komplikasi lain yang biasa dialami adalah terjadinya pembesaran kelenjar getah bening pada leher dan kelumpuhan saraf kranial.
Dampak
Ca Nasofaring Terhadap Sistem Tubuh lain :
a.
Sistem
respiratori
Faring merupakan saluran nafas
bagian atas sebagai jalan udara dari dan ke paru-paru sewaktu bernafas. Jika
ada pembesaran pada daerah tersebut bisa saja mengakibatkan tersumbatnya
saluran pernafasan, bila hal ini teradi akan mengakibatkan jalan nafas tidak
efektif ditandai dengan adanya perubahan frekuensi nafas dan adanya stridor,
jika hal ini makin berat maka bisa saja dilakukan tindakan trakheostomi untuk
kelancaran pernafasan klien.
b.
Sistem
cardiovaskuler
Tekanan darah bisa naik dan bisa
juga turun tergantung dari keadaan klien. Trombositopenia sering terjadi akibat
supresi sumsum tulang setelah kemoterapi atau terapi radiasi.
c.
Sistem
pencernaan
Pada Ca Nasofaring yang sudah
membesar biasanya terjadi gangguan menelan sehingga diberikan makanan cair .
d.
Sistem
persyarafan
Jika Ca berinfiltrasi dapat
menyebabkan penekanan pada nervus IX, X, dan XI sehingga uvula tidak dapat
bergetar dan dapat mengakibatkan aspirasi, juga terjadi penurunan pengecapan
pada klien.
e.
Sistem
penglihatan
Jika Ca bermetastase ke rongga
tengkorak kemungkinan nervus III, IV dan VI akan terganggu seperti reaksi pupil
terhadap cahaya melambat, pergerakan bola mata tidak teratur, untuk melihat
kekiri atau kekanan akan sulit atau tertahan dan juga akan terjadi penurunan
penglihatan.
f.
Sistem
pendengaran
Sistem pendengaran akan terganggu
bila Ca bermetastase ke nervus VIII sehingga klien akan mengalami gangguan
pendengaran atau telinga berdenging.
g.
Sistem
perkemihan
Bila hasil pemeriksaan darah
untuk fungsi ginjal menunjukan kelainan kemungkinan Ca sudah bermetastase ke
ginjal.
h.
Sistem
muskuloskeletal
Metabolisme yang meningkat pada
Ca tonsil, asupan nutrisi yang berkurang mengakibatkan pembentukan energi
menurun sehingga energi yang digunakan untuk melakukan kontraksi berkurang dan
klien terbatas dalam pergerakan.
i.
Sistem
integumen
Ca nasofaring bila dilakukan
terapi akan terjadi perubahan warna kulit di area penyinaran. Sensitifitas
kulit mungkin menurun, bila dilakukan tindakan kemoterapi integritas kulit akan
terganggu.
j.
Sistem
reproduksi
Biasanya dengan adanya perasaan
nyeri pada klien dapat menyebabkan gangguan pada seksualitas.
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
a.
Identitas/ biodata klien
1. Nama
2.
Tempat tanggal
lahir
3.
Umur
4.
Jenis
Kelamin
5.
Agama
6.
Warga
Negara
7.
Bahasa yang digunakan
Penanggung
Jawab
1. Nama
2.
Alamat
3.
Hubungan
dengan klien
b. Keluhan Utama
Leher
terasa nyeri, semakin lama semakin membesar, susah menelan, badan merasa lemas,
serta BB turun drastis dalam waktu singkat.
c.
Riwayat Kesehatan Sekarang
d.
Riwayat Kesehatan Masa
Lalu
e.
Riwayat Kesehatan Keluarga
f. Keadaan Lingkungan
3.2 Observasi
3.2.1
Keadaan Umum
1.
Suhu
2.
Nadi
3.
Tekanan
Darah
4.
RR
5.
BB
6.
Tinggi badan
3.3
Diagnosa
- Nyeri
(akut) berhubungan dengan agen injuri fisik (pembedahan).
- Gangguan
sensori persepsi (pendengaran) berubungan dengan
gangguan status organ sekunder metastase tumor
- Gangguan
pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake
makanan yang kurang.
- Kurangnya
pengetahuan tentang proses penyakit, diet, perawatan dan pengobatan
berhubungan dengan kurangnya informasi.
- Harga
diri rendah berhubungan dengan perubahan perkembangan penyakit, pengobatan
penyakit.
3.4
Intervensi
- Nyeri
(akut) berhubungan dengan agen injuri fisik (pembedahan).
Tujuan : Rasa nyeri teratasi atau terkontrol
Kriteria hasil :
·
Mendemonstrasikan
penggunaan ketrampilan relaksasi nyeri
·
Melaporkan penghilangan
nyeri maksimal/kontrol dengan pengaruh minimal pada AKS
Intervensi
|
Rasional
|
Mandiri
1.
Tentukan riwayat nyeri misalnya
lokasi, frekuensi, durasi
2.
Berikan tindakan
kenyamanan dasar (reposisi, gosok punggung) dan aktivitas hiburan.
3. Dorong penggunaan ketrampilan manajemen nyeri (teknik
relaksasi, visualisasi, bimbingan imajinasi) musik, sentuhan terapeutik.
4. Evaluasi penghilangan nyeri atau control
Kolaborasi
1. Berikan analgesik sesuai indikasi misalnya Morfin, metadon atau
campuran narkotik
|
1. Informasi memberikan data dasar untuk mengevaluasi kebutuhan/keefektivan
intervensi
2.
Meningkatkan
relaksasi dan membantu memfokuskan kembali perhatian
3.
Memungkinkan pasien
untuk berpartisipasi secara aktif dan meningkatkan rasa kontrol
4.
Kontrol nyeri
maksimum dengan pengaruh minimum pada AKS
1.
Nyeri adalah
komplikasi sering dari kanker, meskipun respon individual berbeda. Saat
perubahan penyakit atau pengobatan terjadi, penilaian dosis dan pemberian akan diperlukan
|
2.
Gangguan sensori
persepsi (pendengaran) berubungan dengan gangguan
status organ sekunder metastase tumor
Tujuan : mampu beradaptasi terhadap perubahan sensori pesepsi.
Kriteria Hasil :
mengenal gangguan dan berkompensasi terhadap perubahan.
Intervensi
|
Rasional
|
1. Tentukan
ketajaman pendengaran, apakah satu atau dua telinga terlibat .
2. Orientasikan
pasien terhadap lingkungan.
3. Observasi
tanda-tanda dan gejala disorientasi.
|
1. Mengetahui perubahan dari hal-hal yang merupakan kebiasaan pasien.
2. Lingkungan yang nyaman dapat membantu meningkatkan proses
penyembuhan.
3. Mengetahui faktor penyebab gangguan persepsi sensori yang lain
dialami dan dirasakan pasien.
|
3.
Gangguan pemenuhan nutrisi kurang
dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake makanan yang kurang.
Tujuan :
Kebutuhan nutrisi dapat terpenuhi
Kriteria hasil : 1. Berat badan
dan tinggi badan ideal.
2. Pasien mematuhi
dietnya.
3. Kadar gula darah
dalam batas normal.
4. Tidak ada tanda-tanda hiperglikemia/hipoglikemia.
Intervensi
|
Rasional
|
1.
Kaji status nutrisi
dan kebiasaan makan.
2.
Anjurkan pasien untuk mematuhi
diet yang telah diprogramkan.
3. Timbang berat badan setiap seminggu sekali.
4. Identifikasi perubahan pola makan.
|
1. Untuk
mengetahui tentang keadaan dan kebutuhan nutrisi pasien sehingga dapat
diberikan tindakan dan pengaturan diet yang adekuat.
2.
Kepatuhan terhadap diet dapat
mencegah komplikasi terjadinya hipoglikemia/hiperglikemia.
3.
Mengetahui perkembangan berat
badan pasien (berat badan merupakan salah satu indikasi untuk menentukan
diet).
4.
Mengetahui apakah pasien telah
melaksanakan program diet yang ditetapkan.
|
4.
Kurangnya pengetahuan
tentang proses penyakit, diet, perawatan dan pengobatan berhubungan dengan
kurangnya informasi.
Tujuan :
Pasien memperoleh informasi yang jelas dan benar tentang
penyakitnya.
Kriteria
Hasil : 1. Pasien mengetahui tentang proses
penyakit, diet, perawatan dan
pengobatannya dan dapat menjelaskan kembali bila ditanya.
2. Pasien dapat melakukan
perawatan diri sendiri berdasarkan
pengetahuan yang diperoleh.
Intervensi
|
Rasional
|
1.
Kaji tingkat
pengetahuan pasien/keluarga tentang penyakit DM dan Ca. Nasofaring
2. Kaji
latar belakang pendidikan pasien.
3. Jelaskan
tentang proses penyakit, diet, perawatan dan pengobatan pada pasien dengan
bahasa dan kata-kata yang mudah dimengerti.
4. Jelasakan
prosedur yang kan dilakukan, manfaatnya bagi pasien dan libatkan pasien
didalamnya.
5.
gambar-gambar dalam
memberikan penjelasan (jika ada / memungkinkan).
|
1. Untuk
memberikan informasi pada pasien/keluarga, perawat perlu mengetahui sejauh
mana informasi atau pengetahuan yang diketahui pasien/keluarga.
2. Agar
perawat dapat memberikan penjelasan dengan menggunakan kata-kata dan kalimat
yang dapat dimengerti pasien sesuai tingkat pendidikan pasien.
3. Agar
informasi dapat diterima dengan mudah dan tepat sehingga tidak menimbulkan
kesalahpahaman.
4. Dengan penjelasdan yang
ada dan ikut secra langsung dalam tindakan yang dilakukan, pasien akan lebih
kooperatif dan cemasnya berkurang.
5. Gambar-gambar
dapat membantu mengingat penjelasan yang telah diberikan.
|
5. Harga diri Rendah berhubungan dengan perubahan perkembangan penyakit,
pengobatan penyakit.
Tujuan
: Setelah dilakukan askep selama 3×24 jam klien menerima keadaan
dirinya
Kriteria Hasil :
1) Menjaga postur yang terbuka
2) Menjaga kontak mata
3) Komunikasi terbuka
4) Menghormati orang lain
5) Secara seimbang dapat berpartisipasi dan mendengarkan dalam kelompok
6) Menerima kritik yang konstruktif
7) Menggambarkan keberhasilan dalam kelompok social
Intervensi
|
Rasional
|
1. Kaji
tingkat kecemasan yang dialami oleh pasien.
2. Beri
kesempatan pada pasien untuk mengungkapkan rasa cemasnya.
3. Gunakan
komunikasi terapeutik.
4. Beri
informasi yang akurat tentang proses penyakit dan anjurkan pasien untuk ikut
serta dalam tindakan keperawatan.
5. Berikan
keyakinan pada pasien bahwa perawat, dokter, dan tim kesehatan lain selalu
berusaha memberikan pertolongan yang terbaik dan seoptimal mungkin.
6. Berikan
kesempatan pada keluarga untuk mendampingi pasien secara bergantian.
7. Ciptakan
lingkungan yang tenang dan nyaman.
|
1. Untuk
menentukan tingkat kecemasan yang dialami pasien sehingga perawat bisa
memberikan intervensi yang cepat dan tepat.
2.
Dapat meringankan
beban pikiran pasien.
3.
Agar terbina rasa
saling percaya antar perawat-pasien sehingga pasien kooperatif dalam tindakan
keperawatan.
4.
Informasi yang akurat
tentang penyakitnya dan keikutsertaan pasien dalam melakukan tindakan dapat
mengurangi beban pikiran pasien.
5.
Sikap positif dari
timkesehatan akan membantu menurunkan kecemasan yang dirasakan pasien.
6.
Pasien akan merasa
lebih tenang bila ada anggota keluarga yang menunggu.
7. Lingkung
yang tenang dan nyaman dapat membantu mengurangi rasa cemas
|
BAB 4
PENUTUP
4.1
Kesimpulan
Kanker nasofaring atau dikenal juga dengan kanker THT adalah penyakit yang
disebabkan oleh sel ganas (kanker) dan terbentuk dalam jaringan nasofaring,
yaitu bagian atas faring atau tenggorokan. Kanker ini paling sering terjadi di
bagian THT, kepala serta leher. Sampai saat ini belum jelas bagaimana mulai
tumbuhnya kanker nasofaring. Namun penyebaran kanker ini dapat berkembang ke
bagian mata, telinga, kelenjar leher, dan otak. Sebaiknya yang beresiko tinggi
terkena kanker nasofaring rajin memeriksakan diri ke dokter, terutama dokter
THT. Risiko tinggi ini biasanya dimiliki oleh laki-laki atau adanya keluarga
yang menderita kanker ini.
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, Lynda
Juall. (2000). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. EGC.
Jakarta.
Doenges, M. G.
(2000). Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3 EGC. Jakarta.
Dunna, D.I. Et al.
(1995). Medical Surgical Nursing ; A Nursing Process Approach.
2 nd Edition : WB Sauders.
Lab. UPF Ilmu
Penyakit THT FK Unair. (1994). Pedoman Diagnosis Dan Terapi Lab/UPF
Ilmu Penyakit THT. Rumah Sakit Umum Daerah Dr Soetom Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga. Surabaya.
Soepardi, Efiaty
Arsyad & Nurbaiti Iskandar. (2000). Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT.
Edisi kekempat. FKUI : Jakarta.
Sri Herawati.
(2000). Anatomi Fisiologi Cara Pemeriksaan Telinga, Hidung, Tenggorokan.
Laboratorium Ilmu Penyakit THT Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya.